Sting, Sang Penyengat Musik

Posted: Sabtu, 20 Oktober 2012 by LAGUPEDIA in Label: ,
2

Sebentuk konsistensi dalam berkarya maupun konsekwensi guna memperkaya kualitas, telah dilakoni seorang Gordon Matthew Somner (2 Okt. 1951). Walau sempat merasa lelah bahkan jenuh atas kreativitas yang membutuhkan konsentrasi , iapun memutuskan untuk melongok sejenak kepada khasanah Pop. Pengenduran spiritualisme itu berjudul antologis "Ten Summoner's Tales" sebagai proses pemulihan, tanpa kehilangan nyawa Sting yang kadung telah membesarkannya selama ini. Lewat album penuh canda dalam idiom popular, ia fasih mengisahkan 10 hikayat serta makna, "Apa sih sebetulnya Sting itu?"
Penikmat musik pasti pernah mendengar gema atau bahkan ikut mengalami kejayaan Punk Rock dekade 70-an, melalui gempuran The Clash, Sex Pistols, MO, Dead Kennedy hingga Madness. Serta kemunculan The Police (Juni, 1977) yang awalnya salah memilih jalur Rock, namun malah serba tanggung saat mencoba kompromi sebagai pasukan aliran anti kemapanan. Konsekwensi gantung akibat "terlalu muda di pentas Rock, keliwat tua menjadi Punkers" namun justru menganugerahkan corak yang khas dan "new-sound" buat The Police. Berbekal keunikan format minimalis (hanya tampil bertiga), The Police hijrah ke Amerika untuk pertaruhan kebebasan ekspresi sekaligus mengadu perubahan nasib tingkat dunia. Hasilnya?
 
"Mereka mewarnai musik di ujung abad 20", puji Mick Jagger setelah mendengar lagu Roxanne (Melody Maker Magazine, edisi 1978). "Mereka menciptakan musik, simpel seperti Beatles namun orisinil", tambah Paul McCartney yang juga musisi idola Sting. Yang jelas, corak gado-gado yang dikumandangkan musik The Police telah sanggup menimbulkan julukan baru bernama "New Wave". Aliran yang tidak rumit bagi umumnya persoalan progresi akord juga thema lirik, melainkan universal dalam khasanah musikal global. The Police memasukkan nuansa rakyat Jamaika, tetabuhan Afrika bahkan bau India. Tentu kiat tersebut bukan sekadar faktor keberuntungan, namun kapasitas personal dari tiap kualitas secara lines up skuadron The Police yang benar-benar menguasai peran dan kontribusinya secara optimal.
Sting, musisi yang kentara dalam karakter penulisan lirik maupun cita rasa bunyi. Sebagai komandan The Police, Sting terkesan pe-de sebagai pengatur pasukan. Multi kebisaan ini menular ke layar pentas, saat Sting berperan jadi sosok berandalan di Quadrophenic. Berlanjut ke layar lebar, antara lain pada film fantasi futuristik Dune lewat sutradara David Lynch berdasarkan novel Frank Herbert. Mantan guru TK di St. Paul's Chatolik First School (1974-1976) ini juga tampil bareng Jenifer Beals di film The Bride sebagai adaptasi karya klasik Marry "Frankenstein" Shelley (1935). Namun akting tidak memperoleh prioritas lantaran, "Cuma kepingin anak cucuku kelak bisa mengenang tampang saya, gak hanya mendengar lewat suara musik saja!". Lalu untuk dokumentasi lebih pribadi, Sting membuat film kreatif tentang perenungan, dialog dan bermusik pada sebuah konsernya di Mogador, Afrika 1985 yg bertajuk Bring On The Night.
 
Eksistensi sebagai pekerja seni maupun popularitas telah diraih, maka tiba saatnya untuk memikirkan diri sendiri. Sting melebur pada sebuah klub jazz di New York, melatih suara hati lewat jam session Omar Hakim (Wheater Report), Darryl Jones (Miles Davis Band), Branford Marsalis dan Kenny Kirkland. The Police bubar setelah sempat menerima penghargaan British Phonographic Award untuk album terakhir yakni Synchronicity (Februari 1983). Akumulasi pencaharian Sting lantas dipersembahkan lewat solo album The Dream Of Blue Turttle bertepatan dengan kelahiran Jake, anaknya. "Satu group baru, satu album baru dan satu bayi baru. Ini pasti karunia bertuah", kelakarnya saat konser promo album di Royal Albert Hall London. Dilanjutkan sukses pada proyek berikut yang mulai serius diimbuhi tema politik maupun kesadaran hak azasi di Chili (They Dance Alone), lingkungan hidup (Fragile) dan kisah cinta dibalur keterasingan (Englishman In New York). Judul proyek ini mengutip soneta pujangga William Shakespeare, "My misstres eyes are .. Nothing like the Sun".
 
Kemungkinan ide tersebut dipersembahan bagi sang ibunda, Audrey. Yang wafat akibat kangker, termasuk lewat rintihan pribadi berjudul Lazarus Heart. "Semua telah usai, gak ada lagi derita berkepanjangan buatnya", komentar Sting terhadap kehilangannya. Disusul enam bulan kemudian ayahnda juga menyusul Audrey saat Sting sedang keliling dunia, konser di Marcana Stadium Rio de Janeiro. Akibatnya Sting mengalami proses sensitif dalam sebuah murung panjang. Maka iapun melampiaskan diri pada gerakan Amnesty International serta isu pelestarian hutan tropis. Terutama berkawan dengan Raoni, kepala suku Indian Amazon. Sting belajar banyak tentang realitas, berupa "rasa kehilangan yang tak berdaya".
Gugatan atas keadaan ini disadurkan melalui kreativitas album sakti Soul Cages (Februari 1991). Ada refleksi bagi awal karirnya saat bersama The Police (All This Time), arti kehilangan para sahabat (Island Of Souls), serta dedikasi dalam puisi satire kepada sang ayah. Di saat akhir Sting sempat menggenggam tangan ayahnya yang berkata, "Kepalanmu kini lebih besar dan telah membawa manfaat besar buatmu". Ia menjawab ungkapan itu dengan lagu Why Should I Cry For You. Namun Sting terasa semakin pongah dan membentang jarak pada komunitas pop, juga kecenderungannya semakin individual. Walau demikian, album sengsara ini dianugerahi bintang lima oleh Rolling Stones Magazine dengan komentar, "The most creatur's of Sting, by responsibility from the great musician". Adapun beberapa undangan konser kerap ditolak untuk kepentingan promo album ini, seolah menjadi karya yg "bukan untuk dijual massal".
 
Sting dapat menemukan keseimbangan pasca menikahi Trudie Styler, atris dan produser TV yang telah dipacari 10 tahun dan memberikan tiga anak pada 20 Agustus 1992. Pencerahan yg secara drastis juga dibangun lewat proyek introspeksi Ten Summoner's Tale. Lembaran baru ini ditunjang enam belas musisi yang antusias me-rekonstruksi hikayat tentang Sting. Mereka saling berkomunikasi secara lepas jenaka. Sebagai prolog adalah If I Ever Loose My Faith On You, bercerita tentang Sting yang tumbuh pada segala konflik dan rangkaian ironis. Kemudian essay kampung halaman Field Of Gold, keterlibatannya di lingkungan selebritis It's Probably Me serta romantis-isme yang sumpah mati yahudnya, Shape Of My Heart. Lantas ditutup canda model Inggris, sinis namun elegan, berupa epiloque; "Know Nothing 'Bout Me".
Sting tipikal kaliber seniman berkualitas, musisi berbakat, pemimpin juga sahabat, kecerdasan yang kritis dan penuh humor melalui lirik, serta, "Kehangatan gaya bahasanya begitu menghipnotis", puji Jim Guirenot selaku Vice President of PolyGram. Sting menerima bukan sekadar pujian, melainkan ujian konsistensi. Maka si penderita claustrophobic inipun (ketakutan di ruang sempit tertutup) kembali sibuk dalam perjalanan tur dunia, untuk promosi album yang telah diunggulkan dalam 6 kategori nominasi penghargaan musik Grammy Awards 1994. Ia kembali kepada kehidupan nyata untuk terus bertutur pada khalayaknya, di mana salah satu tujuannya pada Hilton Convention Hall, 5 Februari 1994 di Jakarta. Oh ya, apa sih sebetulnya Sting itu? Lantaran kerap memakai kaos bergaris strip kuning hitam seperti lebah, maka teman band saat kuliah di Warwick University (The Phoenix Jazzmen) pernah sepakat untuk memanggilnya Sting alias penyengat. Bukan pula Stink yg berbau busuk, ataupun jadi "Stinky" yang lain itu.

* Dionisius Endy
-Referensi: Sting, A Biography by Robert Sellers-
(pernah dimuat di Pontianak Post, 31 Januari 1994)

2 komentar:

  1. Anonim says:

    like it

  1. Anonim says:

    Sting contoh sosok musisi yg paham tentang pentingnya faktor keseimbangan finansial dgn idealisme. Bersama The Police ia mendapatkan popularitas dan kekayaan, untuk kemudian menyalurkan idealismenya dengan amat leluasa disaat bersolo karier.